WARTABANGKA.ID, TOBOALI – Puluhan petani dari 3 desa sentra pertanian di Kabupaten Bangka Selatan (Basel) menggelar Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama DPRD setempat, Selasa (22/4).
RDP ini bertujuan untuk menyuarakan keresahan mereka terkait perubahan fungsi lahan di hutan rawa lelap Bikang – Jeriji dan Pergam, yang kini dijadikan perkebunan kelapa sawit, sehingga dinilai merugikan petani.
Rapat yang berlangsung di Gedung DPRD Basel ini dihadiri oleh Ketua DPRD, Erwin Asmadi, Wakil Ketua, anggota DPRD lainnya, Pj Sekretaris Daerah (Sekda) Basel Hepi Nuranda, Kepala BPN Basel Abdul Rahman Irianto, perwakilan Balai Wilayah Sungai (BWS) Bangka Belitung, serta Ketua HKTI Basel.
Juga hadir perwakilan dari Aliansi Masyarakat dan Petani Menggugat Bangka Selatan (AMDPMS), kepala dinas terkait, camat, kepala desa, Ketua KTNA Basel, Gapoktan, Poktan, dan tamu undangan lainnya.
Ketua DPRD Basel Erwin Asmadi mengatakan, bahwa DPRD memiliki kewajiban untuk menampung aspirasi masyarakat terkait dampak dari keberadaan perkebunan kelapa sawit di DAS Mentukul, Bikang, dan Jeriji.
“Kami sepakat untuk membentuk tim gabungan yang terdiri dari DPRD, pemerintah daerah, kejaksaan, kepolisian, Kodim, dan perwakilan masyarakat,” kata Erwin.
Erwin juga menambahkan bahwa langkah selanjutnya akan dibahas setelah tim gabungan terbentuk, termasuk kemungkinan melakukan konsultasi lebih lanjut.
Bahkan, kata dia hingga saat ini, pemerintah daerah belum mengetahui siapa pemilik perkebunan kelapa sawit tersebut, apakah milik perusahaan atau individu. Dinas terkait juga mengungkapkan bahwa PTSP belum pernah mengeluarkan izin untuk perkebunan sawit di wilayah tersebut.
“Artinya, pembukaan lahan untuk kebun sawit ini tidak diketahui siapa pemiliknya, dan pihak perizinan pun tidak tahu siapa yang memiliki lahan tersebut,” katanya.
Di sisi lain, Ketua Aliansi Masyarakat dan Petani Menggugat Bangka Selatan (AMDPMS), Hidayat Tukijan, mengungkapkan bahwa kedatangan mereka ke DPRD bertujuan untuk menyampaikan kekhawatiran terkait dampak perkebunan sawit terhadap petani di Desa Rias.
“Jika perusahaan sawit terus menggarap area resapan air, maka impian pemerintah untuk menjadikan Rias sebagai sentra dan lumbung pangan Provinsi Bangka Belitung akan gagal,” ujarnya.
Ia mengatakan, bahwa luas lahan yang sudah digarap di Desa Rias mencapai sekitar 1.500 hektare dari total 3.000 hektare.
Menurutnya, ekspansi perkebunan sawit ke kawasan lelap Bikang, lelap Jeriji, dan Pergam akan menggagalkan rencana pemerintah untuk menjadikan Rias sebagai lumbung pangan.
“Kami meminta agar aktivitas perkebunan sawit dihentikan di kawasan tersebut. Jika perusahaan belum memiliki izin, maka pemerintah harus segera membatalkan izin tersebut. Kepala BPN Bangka Selatan juga menyatakan bahwa belum ada HGU untuk lahan tersebut,” tegas Hidayat.
Ia menambahkan, bahwa perwakilan petani dari Desa Rias, Gapoktan, Pergam, Bencah, dan sebagian dari Jeriji, yang berjumlah lebih dari 50 orang, hadir dalam RDP untuk menyampaikan bahwa perusahaan sawit diduga telah memperluas lahan di luar area yang seharusnya, bahkan mendekati embung Mentukul dan Yamin.
Senada dengan Hidayat, Ketua KTNA Basel Yopi, juga menyuarakan keprihatinannya atas alih fungsi lahan yang saat ini sudah dikuasai untuk perkebunan sawit di daerah hulu dan kawasan resapan air yang diduga dilakukan secara ilegal.
“Jangan biarkan para petani padi sawah di Desa Rias ini kehilangan air dan masa depan mereka. Kami datang ke sini bukan untuk menghalangi pembangunan atau menolak investasi, tetapi untuk memastikan kehidupan petani tetap bisa berjalan,” katanya.
Ia menegaskan, petani mendesak DPRD dan Pemerintah Kabupaten Basel untuk segera mengambil sikap dan menetapkan perlindungan hukum terhadap wilayah lelap Bikang serta kawasan hulu lainnya yang menjadi sumber air.
“Kami akan tetap menolak dan mempertahankan hulu yang selama ini menjadi daerah resapan air,” pungkasnya. (Ang)